Menjelang tahun kontestasi politik di 2019, Indonesia
tengah digucang berbagai isu, salah satunya yang kini sedang viral di media
sosial adalah kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’. Polemik yang terjadi semakin gencar
berkembang di era teknologi disruptif media sosial saat ini, dimana media
sosial dijadikan sarana menyalurkan pemikiran secara cepat dan tidak
terkontrol. Kondisi di perparah karena terdapat oknum yang terang – terangan
melakukan aksi melalui media sosial seperti melakukan Black Campaign (kampanye terselubung), Negative Campaign (kampanye negatif) dan Hate Speech (ujaran kebencian). Fenomena ini mengancam terjadinya
ketidakstabilan karena kerap memicu berbagai aksi masyarakat sipil yang merasa
terdiskreditkan dengan isu politik yang kian berkembang.
Perang tagar ‘#2019GantiPresiden’ bersambut dengan
tagar lainnya yang menyatakan ‘#2019TetapJokowi’, keduanya saling bersautan memenuhi
beranda media sosial. Kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’ berasal dari kubu
oposisi yang kecewa dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo, sementara
‘#2019TetapJokowi’
muncul dari kubu pendukung Jokowi. Tidak ada yang salah dengan aksi yang
dilakukan kubu oposisi di media sosial ini, karena itu merupakan cara bagi
kelompok oposisi untuk menyuarakan aspirasinya.
Pro dan Kontra Kemunculan tagar '#2019GantiPresiden'
Pro dan Kontra Kemunculan tagar '#2019GantiPresiden'
Berbagai tanggapan pro dan kontra kian bermunculan,
tidak terkecuali dari kubu pendukung pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo
saat ini. Beberapa pihak yang kontra menilai kemunculan tagar
‘#2019GantiPresiden’ dianggap dapat mengancam kesatuan Indonesa dan memicu
konflik baru. Selain itu, hal ini uga dinilai akan menyulut suatu gerakan baru
yang dapat mengancam stabilitas Indonesia seperti Aksi Damai 212 di akhir tahun
2016 lalu.
Kelompok masyarakat yang kontra terhadap kemunculan
tagar ‘#2019GantiPresiden’ mengklaim bahwa aksi ini telah melanggar konstitusi.
Namun pada kenyataanya tidak ada yang salah dengan fenomena ini. fenomena ini
merupakan salah satu bentuk saluran bagi kelompok oposisi sebagaimana memang
tugasnya untuk megontrol dan mengkritik pemerintah. Kelompok oposisi ini
merupakan salah satu unsur penting yang harus ada dalam setiap Negara
demokrasi. Jika kelompok oposisi ini tidak ada, Indonesia tidak benar – benar
menjalankan demokrasi. Maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa
otoriter seperti era Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Dimana kebebasan
menjadi sangat terbatas.
Indonesia kini mengklaim dirinya adalah Negara yang
demokratis, namun apabila setiap kali kelompok oposisi dan masyarakat sipil
menjalankan tugasnnya, justru mendapatkan tekanan yang represif. Menurut
seorang Ilmuan politik dari Harvard
University Amerika Serikat Samuel P Huntington fenomena seperti demokrasi
yang terjadi di Indonesia kini menendakan telah lahirnya demokrasi semu.
Menurut pengamatan Huntington, dalam membentuk suatu
masyarakat demokrasi modern, prasyarat utama adalah Negara itu harus sudah
stabil dari segi ekonomi dan politik. Stabilitas itu dapat dibentuk melalui
peranan militer. Sehingga jika suatu Negara meng klaim dirinya telah demokrasi,
namun pada kenyataannya dalam segi prekonomian dan politiknya masih labil, maka
Negara itu dikategorikan kedalam Negara demokrasi semu.
Sementara itu, dalam menciptakan suatu Negara
demokrasi yang modern, oposisi memang harus ada dan bukan hanya berbentuk institusi-institusi
dalam pemerintahan tetapi perilaku oposisi ini juga harus tercermin dalam
kehidupan masyarakat. Sarana kelompok oposisi dalam mengkritik dan mengontrol
pemerintahan tidak hanya berbentuk partai politik saja tetapi juga dapat berupa
lembaga – lembaga Civil Society
yang bergerak dalam berbagai bidang yang
ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Lembaga civil Society memiliki tugas yang sama sebagaimana partai politik
oposisi pemerintah.
Robert Dahl seorang Professor Ilmu Politik dari Yale University Amerika Serika, dalam
tulisannya berjudul Political Opposition
in Western Democracy, mengklaim bahwa partai oposisi merupakan penemuan
sosial terbesar yang memberikan pengaruh besar di Negara – Negara barat.
Oposisi yang demokratis berimplikasi dengan toleransi dalam berbagai sudut
pandang. Dalam konteks ini perbedaan sudut pandang itu harus di ekspresikan,
sebagai upaya masyarakat sipil untuk mengkritisi dan mengontrol pemerintah.
Partai Politik Sebagai Sarana Pendidikan Demokrasi dan Politik Masyarakat
Partai Politik Sebagai Sarana Pendidikan Demokrasi dan Politik Masyarakat
Indonesia sudah saatnya kembali ke jalur yang benar
dalam menata sebuah Negara demokrasi yang modern. Untuk menciptakan Negara
demokrasi modern ini harus ada kesimambungan antara kubu pemerintahan dan kubu
oposisi. Hal yang kini menjadi viral seperti kemunculan ‘#2019GantiPresiden’
bersama tandingannya ‘#2019TetapJokowi’ tidak seharusnya memicu konflik dan
permasalahan baru. Khususnya di tengah suhu politik yang panas menuju
kontestasi politik Indonesia di tahun 2019.
Tugas pemerintah saat ini adalah membangun kesadaran
politik masyarakat
Indonesia. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi justru
memilih apatis terhadap dunia politik. ketidakpahaman politik inilah pada akhirnya akan
dimanfaatkan oknum – oknum masyarakat untuk memperoleh kekuasaan, yang bukan
tidak mungkin akan digunakna dengan sewenang- wenang.
Apatisme politik ini juga yang pada akhirnya memicu
konflik dalam masyarakat, seperti munculnya ‘ujaran negatif’ yang
mendiskreditkan kubu oposisi pemerintah yang
mengomentari tagar ‘#2019GantiPresiden’. Jelas hal ini
menunjukan bahwa pendidikan politik harur terus di galakan dalam masyarakat di
berbagai darah di Indonesia, tanpa memandang strata pendidikan. Pendidikan
politik dan demokrasi ini, menjadi salah satu tugas pokok dari partai politik
di Indonesia. Sumber Daya Manusia yang handal perlu ditingkatkan agar partai
politik mampu dengan optimal menjadi sarana pendidikan demokrasi dan politik
dan sarana agregasi kepentingan masyarakat Indonesia kepada pemerintah. (RR)