Subscribe:

Ads 468x60px

Sample text

Social Icons

Social Icons

Jumat, 14 September 2018

#2019GantiPresiden, Melanggar Demokrasi Indonesia?


Menjelang tahun kontestasi politik di 2019, Indonesia tengah digucang berbagai isu, salah satunya yang kini sedang viral di media sosial adalah kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’.  Polemik yang terjadi semakin gencar berkembang di era teknologi disruptif media sosial saat ini, dimana media sosial dijadikan sarana menyalurkan pemikiran secara cepat dan tidak terkontrol. Kondisi di perparah karena terdapat oknum yang terang – terangan melakukan aksi melalui media sosial seperti melakukan Black Campaign (kampanye terselubung), Negative Campaign (kampanye negatif) dan Hate Speech (ujaran kebencian). Fenomena ini mengancam terjadinya ketidakstabilan karena kerap memicu berbagai aksi masyarakat sipil yang merasa terdiskreditkan dengan isu politik yang kian berkembang.
Perang tagar ‘#2019GantiPresiden’ bersambut dengan tagar lainnya yang menyatakan ‘#2019TetapJokowi’, keduanya saling bersautan memenuhi beranda media sosial. Kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’ berasal dari kubu oposisi yang kecewa dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo, sementara ‘#2019TetapJokowi’ muncul dari kubu pendukung Jokowi. Tidak ada yang salah dengan aksi yang dilakukan kubu oposisi di media sosial ini, karena itu merupakan cara bagi kelompok oposisi untuk menyuarakan aspirasinya.

Pro dan Kontra Kemunculan tagar '#2019GantiPresiden'

Berbagai tanggapan pro dan kontra kian bermunculan, tidak terkecuali dari kubu pendukung pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo saat ini. Beberapa pihak yang kontra menilai kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’ dianggap dapat mengancam kesatuan Indonesa dan memicu konflik baru. Selain itu, hal ini uga dinilai akan menyulut suatu gerakan baru yang dapat mengancam stabilitas Indonesia seperti Aksi Damai 212 di akhir tahun 2016 lalu.
Kelompok masyarakat yang kontra terhadap kemunculan tagar ‘#2019GantiPresiden’ mengklaim bahwa aksi ini telah melanggar konstitusi. Namun pada kenyataanya tidak ada yang salah dengan fenomena ini. fenomena ini merupakan salah satu bentuk saluran bagi kelompok oposisi sebagaimana memang tugasnya untuk megontrol dan mengkritik pemerintah. Kelompok oposisi ini merupakan salah satu unsur penting yang harus ada dalam setiap Negara demokrasi. Jika kelompok oposisi ini tidak ada, Indonesia tidak benar – benar menjalankan demokrasi. Maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa otoriter seperti era Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Dimana kebebasan menjadi sangat terbatas.
Indonesia kini mengklaim dirinya adalah Negara yang demokratis, namun apabila setiap kali kelompok oposisi dan masyarakat sipil menjalankan tugasnnya, justru mendapatkan tekanan yang represif. Menurut seorang Ilmuan politik dari Harvard University Amerika Serikat Samuel P Huntington fenomena seperti demokrasi yang terjadi di Indonesia kini menendakan telah lahirnya  demokrasi semu.
Menurut pengamatan Huntington, dalam membentuk suatu masyarakat demokrasi modern, prasyarat utama adalah Negara itu harus sudah stabil dari segi ekonomi dan politik. Stabilitas itu dapat dibentuk melalui peranan militer. Sehingga jika suatu Negara meng klaim dirinya telah demokrasi, namun pada kenyataannya dalam segi prekonomian dan politiknya masih labil, maka Negara itu dikategorikan kedalam Negara demokrasi semu.
Sementara itu, dalam menciptakan suatu Negara demokrasi yang modern, oposisi memang harus ada dan bukan hanya berbentuk institusi-institusi dalam pemerintahan tetapi perilaku oposisi ini juga harus tercermin dalam kehidupan masyarakat. Sarana kelompok oposisi dalam mengkritik dan mengontrol pemerintahan tidak hanya berbentuk partai politik saja tetapi juga dapat berupa lembaga – lembaga Civil Society yang  bergerak dalam berbagai bidang yang ada di setiap sendi kehidupan masyarakat. Lembaga civil Society memiliki tugas yang sama sebagaimana partai politik oposisi pemerintah.
Robert Dahl seorang Professor Ilmu Politik dari Yale University Amerika Serika, dalam tulisannya berjudul Political Opposition in Western Democracy, mengklaim bahwa partai oposisi merupakan penemuan sosial terbesar yang memberikan pengaruh besar di Negara – Negara barat. Oposisi yang demokratis berimplikasi dengan toleransi dalam berbagai sudut pandang. Dalam konteks ini perbedaan sudut pandang itu harus di ekspresikan, sebagai upaya masyarakat sipil untuk mengkritisi dan mengontrol pemerintah.

Partai Politik Sebagai Sarana Pendidikan Demokrasi dan Politik Masyarakat

Indonesia sudah saatnya kembali ke jalur yang benar dalam menata sebuah Negara demokrasi yang modern. Untuk menciptakan Negara demokrasi modern ini harus ada kesimambungan antara kubu pemerintahan dan kubu oposisi. Hal yang kini menjadi viral seperti kemunculan ‘#2019GantiPresiden’ bersama tandingannya ‘#2019TetapJokowi’ tidak seharusnya memicu konflik dan permasalahan baru. Khususnya di tengah suhu politik yang panas menuju kontestasi politik Indonesia di tahun 2019. 
Tugas pemerintah saat ini adalah membangun kesadaran politik masyarakat Indonesia. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi justru memilih apatis terhadap dunia politik. ketidakpahaman politik inilah pada akhirnya akan dimanfaatkan oknum – oknum masyarakat untuk memperoleh kekuasaan, yang bukan tidak mungkin akan digunakna dengan sewenang- wenang.
Apatisme politik ini juga yang pada akhirnya memicu konflik dalam masyarakat, seperti munculnya ‘ujaran negatif’ yang mendiskreditkan kubu oposisi pemerintah yang mengomentari tagar ‘#2019GantiPresiden’. Jelas hal ini menunjukan bahwa pendidikan politik harur terus di galakan dalam masyarakat di berbagai darah di Indonesia, tanpa memandang strata pendidikan. Pendidikan politik dan demokrasi ini, menjadi salah satu tugas pokok dari partai politik di Indonesia. Sumber Daya Manusia yang handal perlu ditingkatkan agar partai politik mampu dengan optimal menjadi sarana pendidikan demokrasi dan politik dan sarana agregasi kepentingan masyarakat Indonesia kepada pemerintah. (RR)






0 komentar:

Posting Komentar