Subscribe:

Ads 468x60px

Sample text

Social Icons

Social Icons

Jumat, 03 November 2017

Legalitas Untuk Rohingya di Negara Muslim ASEAN


Indonesia dan Malaysia sebagai Negara muslim terbesar di ASEAN menjadi negara destinasi utama bagi pengungsi Rohingya. Dukungan kemanusiaan yang besar dan penerimaan warga lokal yang baik mebuat para pengungsi merasa nyaman dan mendapat perlindungan. Namun, keduanya memiliki kebijakan berbeda terhadap penanggulangan pengungsi. Tulisan ini mencoba membandingkan kebijakan pemerintah Indonesia dan Malaysia yang bestatus sebagai Negara transit sementara terkait keterbukaan terhadap pengungsi Etnis Muslim Rohingya.

Sejalan dengan teori konsep kekuasaan dalam buku Teori Perbandingan Politik Ronald H. Chilcote, David Easton mengatakan bahwa kekuasaan bersandar pada kemampuan untuk mempengaruhi tindakan pihak lain, mengontrol cara – cara yang dibuat pihak lain, dan melaksanankan keputusan – keputusan yang menentukan kebijakan. Kebijakan, dengan demikian “terdiri atas jaringan keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai – nillai (Easton 1953:130). Aksi gerakan sosial di Indonesia dan Malaysia cukup sukses mendorong pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memberikan perlindungan pada pengungsi Rohingya.

Berbagai elemen gerakan sosial yang tergabung dalam aksi solidaritas untuk muslim rohingya telah di lakukan di Jakarta dan Kuala Lumpur. Aksi 16 September 2017 di Jakarta telah menyedot simpati masyarakat Indonesia tidak hanya umat mulim saja, namun berbagai elemen masyarakat yang berjumlah ribuan orang dari berbagai daerah turut berkumpul untuk menggalang dana. Aksi serupa juga terjadi di Malaysia awal desember 2016 lalu. Ribuan warga Malaysia turun ke jalanan untuk melakukan aksi solidaritas.

Legalitas Pengungsi Rohingya

            Dalam penanganan pengungsi, Indonesia berasaskan pada Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian. Meskipun belum meratifikasi konvensi pengungsi PBB tahun 1951, dalam perlindungan hukum pengungsi, pemerintah Indonesia menggunakan ketentuan yang ada pada konvensi tersebut. Meliputi prinsip tidak memulangkan (non refoulment), tidak mengusir (non expulsion), tidak membedakan (non discrimination), dan tidak memberlakukan tindak hukum pidana bagi para pengungsi.

     Bantuan dana dari organisasi kemanusiaan di manfaatkan pemerintah Indonesia untuk membangun fasilitas khusus. Di Blang Adoe, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh sejak tahun 2015 didirikan pemukiman khusus lengkap dengan Masjid besar dan taman bermain anak – anak. Seperti halnya di Indonesia, malaysia juga memiliki tempat khusus untuk menampung para pengungsi. Pusat – pusat tahanan imigrasi untuk menampung imigran banyak berdiri di Malaysia. Namun, tempat penampungan sementara bagi muslim Rohingya ini di khususkan bagi warga asing tanpa dokumen resmi. Kedua Negara ini menyediakan fasilitas khusus. Namun, pemerintah Indonesia cenderung lebih reaktif dari segi penanganan dengan tidak mempermasalahkan legalitas pengungsi. Sementara Malaysia masih menganggap pengungsi Rohinya sebagai imigran illegal.

UNHCR (United Nations High Commisioner for Refugee) Komisi tinggi PBB untuk urusan pengungsi telah melakukan upaya negosiasi dengan pemerintah Myanmar dan negara - negara penerima suaka. Upaya UNHCR melindungi pengungsi Berpedoman pada konvensi PBB Tahun 1951 tentang status pengungsi dan protokolnya tahun 1967. Seperti di jelaskan dalam buku Pedoman Kedaruratan Komisi Tinggi PBB untuk urusan penngungsi. Dalam usaha penanganan masalah pengungsi, UNHCR bekerjasama secara kemitraan dengan pemerintah – pemerintah, organisasi – organisasi regional, lembaga – lembaga non pemerintah (LSM) nasional dan Internasional.

Indonesia dan Malaysia belum meratifikasi kebijakan tersebut sehingga tidak memiliki otoritas dalam penerimaan suaka pengungsi rohingya. Pemerintah kedua Negara tidak berwenang memberikan perlindungan secara utuh dalam penanggulangan pengungsi rohingya. Jika pemerintah sejak awal ikut terlibat dengan bersedia menerima ratifikasi, maka Indonesia dan Malaysia dapat memberikan legalitas secara rsmi pada pengungsi rohingya sebagai imigran. 

            Hingga saat ini, Indonesia dan Malaysia masih berstatus sebagai Negara transit kerena tidak ikut meratifikasi konvensi PBB tahun 1951. Pemerintah Indonesia dan Malaysia hanya memberikan waktu tempo satu tahun bagi para pengungsi rohingya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Negara penerima Suaka atau kembali ke tempat asalnya. Pemerintah Indonesia beralasan penundaan ratifikasi karena terdapat faktor eksternal dan internal yang harus di perhatikan terkait keamanan dan ketahanan Negara. Sementara Malaysia merasa belum perlu meratifikasi karena sejauh ini mereka dapat menanggulagi pengungsi rohingya dengan baik.


Keduanya sama – sama  tidak memiliki wewenang khusus untuk secara resmi menerima pengungsi Rohingya. Berbagai bentuk bantuan yang dilakukan merupakan bentuk preventif pemerintah menjaga stabilitas politik dalam negeri. Karena begitu banyak masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi menuntut pemerintah lebih reaktif dalam krisis kemanusiaan rohingya. Hal itu dilakukan guna meredam konflik sosial dalam internal Negara.

-RR-

Selasa, 24 Oktober 2017

Revolusi Marxist


Bicara tentang ideologi Marxisme sangat identik dengan paham komunisme. Komunisme yang belakangan ini sedang hits di Indonesia tidak terlepas dari paham Marxisme yang di bawa Oleh seorang Filsuf asal jerman Bernama Karl Marx. Marx lahir pada tahun 1818 di Treves, Jerman. Seorang anak dari keluarga yahudi golongan menengah yang telah memeluk agama protestan. Marx meraih gelar Doktor di bidang filsafat di Jena pada tahun 1841.

Banyak orang terobsesi dan begitu mengagumi pemikiran Marx. Mereka ini di sebut dengan Marxist sedangkan ajaran yang dibawa Marx sendiri disebut Marxisme yang berisi ajaran yang kini kita kenal dengan sebutan komunime. Semua komunis di dunia adalah penganut ajaran Marxisme. Namun, tidak semua Marxist adalah Komunis.

Ajaran komunisme sendiri lahir sebagai kritik terhadap ideologi liberalisme. Marx menganggap librealisme merupakan ajaran yang jahat. Liberalisme yang mengutamakan individualisme telah mendorong kaum kapitalis untuk terus memperkaya diri. Di sisi lain kaum buruh terus tertindas dan semakin terpuruk kehidupannya. Dalam teori Marxist, Marx sudah menggambarkan kondisi Masyarakat di bawah ideologi liberalisme dimana kaum kapitalis semakin  kaya dan kaum proletaris (buruh) semakin terpuruk dan miskin.  

Dalam ideologi liberalisme setiap orang dapat memperoleh kebahagiaan materialistik sebagai bayaran atas upaya dan kerja keras yang dilakukannya. Setelah revolusi industri, ideologi liberalism terus berkembang mejadi ideology liberalisme kapitalis. Dimana terjadi persaingan antara kaum kapitalis dalam suatu industri di Negara eropa. Dengan modal besar yang dimilikinya, seorang kapitalis terus memproduksi berbagai komoditi pokok yang dibutuhkan masyarakat. Di sisi lain masyarakat tidak memiliki modal sehingga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan produksi kebutuhan sehari – harinya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya, masyarakat sangat tergantung pada komoditi yang dihasilkan dari industri kapitalis.

Kaum kapitalis melihat peluang tersebut sebagai lahan untuk meperbesar industrinya dengan terus menghasilkan komoditi. Semakin banyak komoditi yang di produksi, semakin murah harga jual , semakin besar keuntungan yang di peroleh pemilik modal, masyarakat semakin di untungkan sehingga masyarakat semakin bergantung pada industri tersebut. Semakin besar perusahaan, akan semakin banyak membutuhkan tenaga ahli dan pekerja buruh, semakin luas juga lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Terbentuklah hubungan saing ketergantungan antara kaum pemilik modal dan masyarakat.

Marx menilai fenomena ini sebagai bentuk penjajahan terhadap kaum buruh. Ia menganggap kaum buruh bukannya di untungkan dengan terus bekerja pada kaum kapitalis. Namun itu merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja pada kaum buruh. Kaum kapitalis semakin kaya berkat kerja keras para buruh. Para buruh tidak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terpaksa harus tunduk pada kapitalis. Marx menyebut fenomena itu dengan sebutan “lingkaran setan”.

Marx menganggap perlu adanya revolusi. Dimana kaum buruh harus bergerak melawan kapitalis yang terus menggerogoti tenaganya. Marx mangatakan suatu perubahan tidak akan terjadi jika kaum buruh ini tidak menginginkannya dan tidak melakukan tindakan untuk menghadirkan perubahan. Marx menganggap kekerasan dan pembantaian di bolehkan untuk suatu perubahan besar. menurut Marx, masyarakat liberalisme itu ibaratkan baju yang sudah usang, sudah tidak layak pakai sehingga harus di buang dan diganti dengan yang baru. Mereka yang mempraktekan ajaran Marx inilah yang disebut dengan penganut paham sosialis komunis.


Senin, 23 Oktober 2017

Kembali Produktif


Let's fight!. Satu satunya masalah utama dalam hidupa gue adalah sensasi dalam kepala gue sendiri. Ya I’m an overthinking. How to fight it? Just stay positive. Lama gue vakum membuat tulisan. Berbagai hal gue lalui selama empat tahun skip menulis. Menyesal? Ya menyesal. Kenapa dari sekian banyak moment manis pahit selama 4 tahun belakangan tidak gue freeze dalam sebuah tulisan? Menyesal ya kenapa gue kalah sama pikiran macam – macam yang pada akhirnya bikin gue gak produktif.

Here now I’m back. Sebisa mungkin setiap minggu harus ada yang gue post dalam blog ini. mau itu cur col gak jelas. Jangan sih! Yg wort it aja laah.. insya allah, ini baru awal permulaan (lagi). Sesungguhnya dan sejatinya gue manusia yang extrovert dan seharusnya juga itu yang menjadi latar belakang utama gue menjadi manusia yang produktif. Ya gue baru sadar selama empat tahun ini sudah masuk golongan orang yang merugi. Sangat merugi. Tapi, gua anggap itu sebagai fase pendewasaan (yg kesekian) dalam hidup gue.

Sedikit gue rangkum kaleidoskop (ciailaah kayak metro tv) yg gue sesalili gak gua catch up dalam memoar (sebenernya gue juga udah agak lupa - lupa sih) tapi sejatinya itu sangat berkesan dan mengubah separuh kehidupan gue yang tadinya tukang galau jadii makin galau (engga deng makin dewasa laaah insya allah)

2014

Awal 2014 gue awali dengan bacakpacker. Untuk pertama kalinya gue ikut backpacker ‘beneran’. Sebelumnya penah sih ke banten ikut acara Travel Writer bareng Gol A gong dan komunitas Backapacker Koprol, tapi lebih ke traveling biasa aja karena yang pertama itu di koordinir dan gak bener – bener ngerasain capeknya jadi bacakpacker “sejati”.

Di awal 2014 itu gue bersama ketiga temen cewek gue. Cucu, Annisa, dan Butet. Mereka adalah teman main gue waktu masih kuliah S1 di UIN Bandung. Cucu dan annisa anak urusan ilmu hukum dan butet temen sekelas gue di jurnalistik. Januari 2014 kita awali dengan kenekatan kita cewek ber empat jalan ke jawa timur (naik kereta mksdnya) berbekal info yang kita akses dari internet. Untuk detail perjalanan gue selama backapackeran di jatim Insya allah akan di rangkum dalam tulisan khusus nanti yaa..

Ternyata menjadi backpacker itu tidak seindah keliatannya orang – orang banyak posting di medsos. Untuk mendapatkan angle dan view ruaar biasa indah itu banyak pengorbanan dan jerih payah yang harus di tempu (lebay banget). Up side down mood kerasa banget. Harus banyak banyakin sabar kalo lagi bacakpackeran itu. Hal itu baru gue sadar banyak orang bilang semakin kita banyak melakukan perjalanan semakin kita jadi dewasa. And That’s truly what I feel.

Sealnjutnya, di 2014 juga adalah masa – masa dimana gue pertama kali megenal dunia kerja jadi jurnalis ‘beneran’. Pertengahan tahun itu kampus mewajidkan mahasiswa jurnalistik ikut job training di media, gue jobtre di gramedia majalah (salah satu anak perusahan kompas gramedia) suka duka menjadi seorang jurnalis sedikitnya pernah gue cicipi di masa itu. Indah? Iya karena gue banyak ketemu hal baru dan banyak dapet kenalan baru, selain itu gue dapet kesempatan yang langka dimana saat itu bisa ketemu orang –orang kece dari mulai artis – artis sampe pejabat dan para tokoh elite politik.

Selain itu, juga untuk pertama kalinya, gue merasakan the truly atmosphere ibu kota yang kadang nyenengin dan bikin excited dan lebih sering bikin jengkel karena transportasi publilknya yang masih aburadul. Setiap hari di jam berangkat dan pulang kantor gue merasakan Indahnya transit di halte Harmoni (yang pernah ngerasain boleh ngacung).

2,5 bulan kehidupan manis pahit sebagai jurnalis gue jalani di ibukota tercinta jekardah. Setidaknya berkat tugas liputan-liputan yang ‘masih’ diarahkan sama redaktur itu,  gue jadi pernah negrasain masuk ke diskotik. Eits, bukan untuk dugem atau macem - macem tapi yaa.. kebetulan 2x gue pernah ditugaskan meliput launching produk handphone terbaru (yg waktu itu blm tau tempatnya jadi naik taxi) dan ternyata menuju ke sebuah diskotik besar di kawasan SCBD dan FX Sudirman. Tapi so far itu indah berkesan dan seru.  


Bersambung…