Indonesia
dan Malaysia sebagai Negara muslim terbesar di ASEAN menjadi negara destinasi
utama bagi pengungsi Rohingya. Dukungan kemanusiaan yang besar dan penerimaan
warga lokal yang baik mebuat para pengungsi merasa nyaman dan mendapat
perlindungan. Namun, keduanya memiliki kebijakan berbeda terhadap
penanggulangan pengungsi. Tulisan ini mencoba membandingkan kebijakan pemerintah
Indonesia dan Malaysia yang bestatus sebagai Negara transit sementara terkait
keterbukaan terhadap pengungsi Etnis Muslim Rohingya.
Sejalan
dengan teori konsep kekuasaan dalam buku Teori Perbandingan Politik Ronald H.
Chilcote, David Easton mengatakan bahwa kekuasaan bersandar pada kemampuan
untuk mempengaruhi tindakan pihak lain, mengontrol cara – cara yang dibuat
pihak lain, dan melaksanankan keputusan – keputusan yang menentukan kebijakan.
Kebijakan, dengan demikian “terdiri atas jaringan keputusan dan tindakan yang
mengalokasikan nilai – nillai (Easton 1953:130). Aksi gerakan sosial di
Indonesia dan Malaysia cukup sukses mendorong pemerintah Indonesia dan Malaysia
untuk memberikan perlindungan pada pengungsi Rohingya.
Berbagai
elemen gerakan sosial yang tergabung dalam aksi solidaritas untuk muslim
rohingya telah di lakukan di Jakarta dan Kuala Lumpur. Aksi 16 September 2017
di Jakarta telah menyedot simpati masyarakat Indonesia tidak hanya umat mulim
saja, namun berbagai elemen masyarakat yang berjumlah ribuan orang dari
berbagai daerah turut berkumpul untuk menggalang dana. Aksi serupa juga terjadi
di Malaysia awal desember 2016 lalu. Ribuan warga Malaysia turun ke jalanan
untuk melakukan aksi solidaritas.
Legalitas
Pengungsi Rohingya
Dalam penanganan pengungsi, Indonesia berasaskan pada
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian. Meskipun belum
meratifikasi konvensi pengungsi PBB tahun 1951, dalam perlindungan hukum
pengungsi, pemerintah Indonesia menggunakan ketentuan yang ada pada konvensi
tersebut. Meliputi prinsip tidak memulangkan (non refoulment), tidak mengusir (non expulsion), tidak membedakan (non discrimination), dan tidak memberlakukan tindak hukum pidana
bagi para pengungsi.
Bantuan dana dari organisasi kemanusiaan di manfaatkan
pemerintah Indonesia untuk membangun fasilitas khusus. Di Blang Adoe, Kabupaten
Aceh Utara, Provinsi Aceh sejak tahun 2015 didirikan pemukiman khusus lengkap
dengan Masjid besar dan taman bermain anak – anak. Seperti halnya di Indonesia,
malaysia juga memiliki tempat khusus untuk menampung para pengungsi. Pusat –
pusat tahanan imigrasi untuk menampung imigran banyak berdiri di Malaysia.
Namun, tempat penampungan sementara bagi muslim Rohingya ini di khususkan bagi
warga asing tanpa dokumen resmi. Kedua Negara ini menyediakan fasilitas khusus.
Namun, pemerintah Indonesia cenderung lebih reaktif dari segi penanganan dengan
tidak mempermasalahkan legalitas pengungsi. Sementara Malaysia masih menganggap
pengungsi Rohinya sebagai imigran illegal.
UNHCR
(United Nations High Commisioner for
Refugee) Komisi tinggi PBB untuk urusan pengungsi telah melakukan upaya
negosiasi dengan pemerintah Myanmar dan negara - negara penerima suaka. Upaya UNHCR melindungi
pengungsi Berpedoman pada konvensi PBB Tahun 1951 tentang status pengungsi dan
protokolnya tahun 1967. Seperti di jelaskan dalam buku Pedoman Kedaruratan
Komisi Tinggi PBB untuk urusan penngungsi. Dalam usaha penanganan masalah
pengungsi, UNHCR bekerjasama secara kemitraan dengan pemerintah – pemerintah, organisasi
– organisasi regional, lembaga – lembaga non pemerintah (LSM) nasional dan
Internasional.
Indonesia
dan Malaysia belum meratifikasi kebijakan tersebut sehingga tidak memiliki
otoritas dalam penerimaan suaka pengungsi rohingya. Pemerintah kedua Negara
tidak berwenang memberikan perlindungan secara utuh dalam penanggulangan
pengungsi rohingya. Jika pemerintah sejak awal ikut terlibat dengan bersedia
menerima ratifikasi, maka Indonesia dan Malaysia dapat memberikan legalitas
secara rsmi pada pengungsi rohingya sebagai imigran.
Hingga saat ini, Indonesia dan Malaysia masih berstatus
sebagai Negara transit kerena tidak ikut meratifikasi konvensi PBB tahun 1951. Pemerintah
Indonesia dan Malaysia hanya memberikan waktu tempo satu tahun bagi para pengungsi
rohingya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Negara penerima Suaka atau
kembali ke tempat asalnya. Pemerintah Indonesia beralasan penundaan ratifikasi
karena terdapat faktor eksternal dan internal yang harus di perhatikan terkait
keamanan dan ketahanan Negara. Sementara Malaysia merasa belum perlu
meratifikasi karena sejauh ini mereka dapat menanggulagi pengungsi rohingya
dengan baik.
Keduanya
sama – sama tidak memiliki wewenang
khusus untuk secara resmi menerima pengungsi Rohingya. Berbagai bentuk bantuan
yang dilakukan merupakan bentuk preventif pemerintah menjaga stabilitas politik
dalam negeri. Karena begitu banyak masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi
menuntut pemerintah lebih reaktif dalam krisis kemanusiaan rohingya. Hal itu
dilakukan guna meredam konflik sosial dalam internal Negara.
-RR-